"Jejal Klise" oleh Zazkia Zahra (dari Antologi Cerpen "Etherea Luciditas" karya kelas XI MIPA 2)
Bertepatan dengan pasak
arloji yang berganti menit, lisanku kembali bersuara, “namaku Jingga.”
Hening, tetapi sangat
berisik.
“Lihat! Pangeran kesiangan baru terbangun dari koma!"
“Hahaha! Orang aneh!”
Semakin hening, sekaligus
semakin berisik.
“Pede sekali dia bergurau di depan sana!”
Ketika segenap penghuni
ruangan tergelak usai aku memperkenalkan diri untuk pertama kalinya,
satu-satunya orang di pojok kelas pagi itu hanya bergeming dengan sebatang
bolpoin mengetuk mejanya tiada henti. Namanya Kala, murid pemurung yang
nantinya menjadi sahabat karibku.
“Boleh aku duduk di sini?” Pertanyaan diriku versi usia sembilan
tahun itu sempat aku lontarkan delapan tahun lalu saat aku pindah ke sekolah
dasar di luar kota. Kata Mama, sekolah dasar yang kudatangi hari itu akan
menjadi sekolah dasar paling menyenangkan dibandingkan sekolah-sekolah yang
pernah aku datangi sebelumnya.
Masih membekas di ingatanku
hari ini tentang kebohongan Mama yang bilang aku punya banyak teman di sana.
Jelas-jelas aku semakin kesepian. Cuma Kala yang hingga sekarang masih berteman
denganku. Untung saja saat itu dia meng-iya-kan pertanyaanku perihal menjadi
teman sebangku.
"Ternyata tidak se-pendiam yang aku kira, kau asyik orangnya,
Kal!"
"Ya, tentu saja. Dan kau sangat konyol, Jingga!"
Percakapan itu pernah terjadi
sebelum hal-hal tentang 'beranjak dewasa' mulai terendus.
“Kejadiannya sudah lama, tidak usah membahasnya. Kau terlihat seperti
orang hilang di depan kelas waktu itu!” Empat tahun lalu, Kala pernah bicara begitu
sebelum memasuki era mulut tersumpalnya. Maksudku, fase muramnya. Sekarang dia
berada di sana lagi.
"Sebagian besar remaja seumuran kita berasumsi kalau di usia kita
sekarang, kita harus menentukan masa depan. Tapi pernahkah kau terpikir soal
dahsyatnya sakit kepala yang bisa kau derita ketika tetanggamu bertanya soal
karir setelah lulus SMA?"
"Tidak. Mataku bisa melihat saja aku sudah seperti orang tersukses
di dunia ini. Hanyalah omong kosong belaka jika kita punya karir bagus, kita
akan hidup bahagia."
"Ya, aku juga merasa begitu. Tapi, kenapa kau tidak mendefinisikan
kebahagiaanmu lebih dari itu? Misalnya seperti kembali merasakan kehidupanmu
yang normal seperti dulu? Ketika kau hidup satu atap dengan ibu dan ayah
kandungmu? Bukankah itu menakjubkan?"
"Untuk apa? Memiliki teman rasa sepupu sepertimu saja aku sudah
bisa menyebutnya keluarga."
"Hmm…. Benarkah? Kalau begitu, apakah kau berpikir seorang teman
sepertiku tidak bisa menyakitimu? Seperti tiba-tiba meninggalkanmu ketika kau
ditilang polisi? Atau bahkan memasukkanmu ke penjara karena aku
memfitnahmu?"
"Kau sendiri? Tidakkah kau berpikir begitu?"
Aku dan Kala sangat dekat.
Bayangkan, delapan tahun kami berteman. Sudah seperti adik kakak. Mungkin
banyak orang beranggapan kami tidak waras, namun, ya, aku menemukan hal unik
tersendiri dari pertemanan kami.
"Kusarankan jangan gantungkan kebahagiaanmu pada materi. Kau lihat?
Aku menumpang makan bekalmu saja tetap senang-senang saja, tuh!"
"Ya karena kau tidak perlu membangunkan mamamu untuk membuatkan
bekal!"
"Benarkah? Kau berpikir begitu?"
"O-oh, t-tidak. M-maksudku—"
"Tak apa, aku tahu kau belum terbiasa dengan fakta kalau aku yatim
piatu."
"Lantas? Apakah kau bahagia hidup dengan sesuatu yang baru?
Seperti… Mama Gina?"
"Ya. Aku bahagia. Dia… sangat baik. Sampai-sampai aku tidak bisa
tidur tenang setiap malam menunggu suasana di ruang tengah mereda dari
omelannya, haha!"
"Sarkas sekali kau, Kala!"
Kami sudah tepat berusia
tujuh belas tahun ini di kelas sebelas. Tidak pernah terpikir di benakku bahwa
kami selalu pergi ke sekolah yang sama dan mendapat kelas yang sama pula sejak
menjadi teman di kelas tiga sekolah dasar, membuat kami malas mencari teman
sebangku baru. Akhirnya kami selalu memilih menjadi chairmate sampai lulus SMA kelak.
"Selamat hari Senin! Kau
sudah menonton pertempuran Raja Api dengan Pengendali Angin semalam, Kal? Wushh! Haiyaa! Aku sungguh terbungkam!
Seperti kembali menjadi anak usia delapan tahun jika menonton seri Ravatar!
Bukankah begitu, Kal?"
"Kal?"
"Kala?"
“Apakah kau sedang tidak
sehat, Kal?” Tanpa berpikir, pertanyaan kulemparkan kepada Kala yang kulihat
membalut tubuhnya dengan jaket tebal sembari menyandarkan tubuhnya yang
terserang kantuk ke dinding. Kepalanya kian dibenamkan guna menghindari gaduh
yang kuhasilkan di setiap pertanyaan beruntun setiap paginya.
Tentu ini bukan pemandangan
yang baru pertama kali kulihat. Si Pemurung itu—maksudku iya, Kala—kerap
menjadikan notabene “tukang
tidur”-nya agar kami mendapatkan bangku paling belakang di sudut ruangan setiap
naik kelas.
Dari tahun-tahun yang kami
lalui sebagai teman akrab, aku sangat mengenal Kala. Tentang dia yang pernah
tersesat. Tentang keluarga yang telah bersedia mengulurkan tangan untuk
mengangkat Kala kecil yang penuh trauma menjadi bagian dari mereka. Tentang Kala
yang selalu punya hal baik untuk ditunggu. Dan tentang Kala yang akhir-akhir
ini memiliki kesan buruk berkenaan dengan mama angkatnya.
“Aku habis dipukuli Mama.” Sebaris kalimat Kala yang kerap aku dapati tiap kali dia memintaku
membawakan plester pereda nyeri dari petugas di ruang UKS. Dia pernah bilang,
benda itu bisa mengobati luka dalam di pundaknya meski tidak terlalu berefek.
Aku tahu Kala sedang tidak
baik-baik saja saat itu, dan kali ini aku rasa terjadi lagi padanya walaupun
dia tidak terlihat ingin bilang kepadaku.
“Semua hal tentangku tidak otentik. Kau mengetahuinya, Jingga.”
Seuntai kalimat yang
sederhana, tapi aku tahu itu terlalu ekstrim bagi Kala untuk melemparkannya
kepadaku ketika bercerita padanya mengenai aku yang juga merupakan anak adopsi.
Kami memiliki latar belakang yang mirip. Membuat masing-masing dari kami merasa
saling membutuhkan tempat untuk beradu nasib.
Namun, aku jelas mengingat
perkataan Kala yang cukup membuatku menganggap bahwa aku berhutang padanya. Dia
pernah berkata, “kita tidak sama. Jelas
berbeda, karena kau bisa hidup di keluarga yang mengadopsimu dengan kasih
sayang. Semua permintaanmu dituruti, ‘kan?”
Dasar bodoh.
Jingga memang bodoh untuk
menjadi teman yang baik.
Aku merasa bersalah saat itu.
Pernyataannya membuatku harus berhati-hati tiap kali berperilaku. Mengenai Kala
yang menjalani hidup tidak sepertiku, yang kudengar, orang tua angkatnya
mengadopsi Kala saat masih berusia empat tahun karena Mama Gina—orang tua
angkatnya—mengalami depresi dan tidak terima anak satu-satunya meninggal karena
sakit. Sampai Mama Gina bertemu dengan Kala di panti asuhan saat itu, beliau
mengadopsinya sebab Kala mirip dengan mendiang anaknya.
Akan tetapi, roda kehidupan
terus berputar. Hingga kami menduduki kelas lima sekolah dasar, mama angkat
Kala kembali gila. Mama Gina terus menyiksa Kala bahkan nyaris membunuh nyawa
seorang anak lelaki yang tidak berdosa.
Segalanya bergerak tanpa
istirahat hingga penglihatanku terinterupsi oleh Kala yang tampaknya sudah
tidak sadar. Masa-masa inilah di mana julukan “tukang tidur” terlalu cocok
buatnya. Beruntung dia masih bisa hidup sampai sekarang sejak hari di mana aku mengajak
Kala kabur dari rumahnya.
Layar ponsel Kala menyala
tanpa pemiliknya sadari. Aku rasa inilah kesempatanku untuk menjadi bocah yang knowing every particular object alias kepo yang penasaran apakah Si Tukang
Tidur mulai beranjak dewasa dan memiliki kekasih tanpa sepengetahuanku sebagai
teman karibnya. Tidak mungkin tidak punya,
kan? Berhubung dia yang akhir-akhir ini jarang sekali mau diajak hang out sekadar nongkrong di Warmindo.
Dalam hati, tidak bisa aku
menahan ekspresi licik ketika benda berbentuk persegi panjang milik Kala
berhasil diraih olehku, meski amat susah membebaskannya dari tumpuan siku sang
empu. Bisa saja Kala terbangun karena merasa ponselnya tergeser—
“Yes!”
Cepat-cepat aku membuka sandi
ponsel Kala. Dengan antusias, kutekan lima digit angka yang aku sangat hafal
karena Kala sendiri yang memberi tahu.
0-1-7-2-9
Kring....! Kring...! Kring...!
—ya, itu maksudku.
Bel yang membahana di seluruh
penjuru sekolah tiba-tiba menghentikan usaha licikku tepat seusai ponsel Kala
yang sudah menampilkan apa yang ingin aku ketahui. Ekspresiku mendadak berubah
menjadi panik. Kala terbangun!
“Di mana—”
“Kal! Tadi Mama Gina
meneleponmu! J-jadi kucoba untuk mengangkatnya. Khawatir penting—”
Aku tahu ini berlebihan.
Kebohongan besar yang
tentunya Kala tidak pernah percayai.
Wajah bangun tidur milik Kala
kian kontras, tampang pemurung yang semakin dipenuhi sendu dan amarah. “Mama
tidak pernah sempat menyimpan nomorku, Bodoh.”
Klise.
Selalu saja begitu.
Wajahku berubah dalam
sekejap. Raut yang kuyakini sedang menghibur sang teman ini, aku rasa sudah
bertransformasi menjadi raut balita yang habis ditampar ibunya.
Lengan Kala merampas
ponselnya dariku dengan agresif. Melirik notifikasi sekejap, lantas
mematikannya kembali.
“Kau habis dipukuli lagi?”
Aku bertanya secara refleks usai melihat jemarinya yang biru.
“Tidak.” Jeda yang finalnya
terlanjur Kala penuhi dengan respons klise.
Klise!
Tanggapannya tidak pernah
menggembirakan. Wajah murungnya yang kembali ditunjukkan mengakibatkan
konfrontasi memori yang buruk di ingatan. Kejadian pagi itu lagi-lagi memapahku
ke era di mana Kala berusaha terpandang baik-baik saja, padahal jelas-jelas waktu
itu aku menyaksikan mama angkatnya memegang batang besi mendidih dan
menyulutnya ke pundak Kala tanpa ampun.
“Kau tidak perlu menyusahkan
dirimu lagi demi membantuku. Ini tidak ada hubungannya dengan kehidupanmu.”
Pernyataan yang kerap menikam
nuraniku selama delapan tahun berteman dengannya.
“Wajar.” Aku menyangkal
ucapan Kala. “Hei, tidakkah kau berpikir bagaimana perasaan ibu kandungmu di
atas sana? Dia bisa saja sedih melihatmu tidak tumbuh seperti apa yang
diharapkan.”
“Ibu kandung?” Wajah Kala
memerah, terlihat tidak tahan mendengar kalimat yang aku lontarkan.
“Peduli apa dia soal aku? Dia
saja meninggalkanku di tangan orang kejam yang tidak pernah aku mau diurus
dengannya!”
“Dan... kau?”
“Kau cuma peduli salah satu
alurnya saja, dasar Jingga. Tidak pernah kau peduli dengan mimpi buruk yang aku
dapat!”
“Biarlah aku ikut mati agar
bisa protes dengan orang yang katamu ibu kandungku itu.”
“Stop! Berhenti menyalahkan
ibumu! Kau tidak tahu apa alasannya, Kal….” Suaraku mengecil di akhir, kecewa
karena aku merasakan hal yang berbeda. Aku justru rindu Mama. Dan aku pernah
menyalahkan penyakitnya sebelum jantungnya berhenti beroperasi untuk selamanya.
“Maka dari itu aku harus
mati. Akan kutanya seribu pertanyaan yang aku yakin tidak bisa dijawabnya.”
Kala berdecih.
“Kal, tidak semua masalah
harus berujung buruk. Kalau kau mati....”
“... aku tidak lagi punya
teman.”
Tanpa keraguan, aku
menyuarakan perkara yang kutahu Kala tidak pernah menggubrisnya. Dia hanya
menunjukkan ekspresi ketidaknyamanannya dan kembali membenamkan wajah.
“Aku bilang aku tidak pernah
punya teman!” ujarku dengan keras kepala, menunggu apakah Kala bisa
menyangkalnya sampai—
“Memang kau ditakdirkan tidak
memiliki teman, Bodoh!”
…
Di tengah-tengah jam
istirahat, aku melihat Kala pergi ke luar kelas sendirian. Aku tahu ini
pertanda buruk. Perihal tadi pagi yang aku rasa Kala sedang tidak sehat, pasti
ada hubungannya dengan alasan kenapa aku melihatnya menuju ke ruang UKS sembari
memegangi pundaknya.
Aku kurang yakin, tapi aku
pernah membaca artikel tentang gejala penderita kanker darah yang merasakan
nyeri di berbagai bagian tubuh. Salah satunya di tulang. Kupikir pukulan dari
mama angkatnya di bagian pundak memengaruhi bagaimana kanker darah yang dialami
Kala beranjak makin parah.
Buru-buru aku merapikan
kembali bekal yang awalnya ingin kumakan siang ini. Kantong plastik kugunakan
untuk membawa kotak nasi yang akan kuberikan untuk Kala. Seperti rutinitas yang
selalu aku lakukan sejak mama mengizinkanku untuk membawa dua kotak nasi, satu
untukku dan satu untuk temanku, Kala.
Dari depan ruang UKS, aku
beranjak mengetuk pintu. Tetapi usahaku terhenti ketika pintunya mendadak
terbuka dari dalam. Dua orang anggota PMR keluar dari sana. Kedua laki-laki itu
menatapku dengan penuh amarah tergambar jelas di kernyitan dahinya.
“Jangan ikut campur dulu
untuk sekarang.” Salah satunya bersuara. Mereka kembali mundur, ancang-ancang
akan menutup pintu dan masuk kembali. Jujur, aku tidak apa-apa dengan itu.
Namun... bagaimana dengan Kala?
“Apa yang terjadi?” tanyaku
sembari dengan spontan menahan kenop papan kusen yang semakin kuat, mencoba
melihat ke dalam ruang UKS melalui celah-celah di antara mereka yang berusaha
menutup pintu.
“Ada yang harus ditangani.”
Brak!
Suara bantingan pintu ruangan
membidas ruangan tersebut setelah salah satunya melempar sorot matanya yang
janggal padaku.
Aku terkesiap. Setelahnya
menarik napas dalam-dalam bersamaan dengan langkah kaki yang berotasi
membelokkan arah. Baiklah jika aku tidak boleh masuk. Aku memilih kembali ke
kelas untuk menunggu Kala kembali dari sana.
Namun, instingku berkata
lain. Jendela berbentuk persegi di dinding UKS kudapati tidak terhalang oleh
tirai. Aku memutuskan untuk melihat sebentar. Setidaknya memastikan kalau Kala
benar sedang ada di dalam sana.
Semuanya baik-baik saja
sampai netraku secara tidak direncanakan mendapati skenario terburuk tampil
persis di hadapan.
Tubuh Kala tergeletak di
lantai tanpa kesadaran.
Degup jantungku meningkat
kecepatannya secara drastis. Tepat saat itu juga.
“Kal!”
“Kala!”
Aku berlari berbalik arah,
kembali menuju pintu UKS. Mendobraknya sekencang mungkin, sampai aku tidak
sadar kenopnya telah rusak oleh kedua tanganku.
“Kala!”
“Kal, bangun!”
... kalau kau mati aku tidak akan pernah punya teman.
"PANGGILKAN
AMBULANS!" Aku berteriak tidak karuan, menatap wajah-wajah petugas UKS
yang tadi melarangku masuk. Ya, aku menyalahkan kebodohan mereka.
"CEPAT PANGGILKAN
AMBULANS, BODOH! TEMANKU PERLU PENANGANAN!" jeritku sekencang mungkin.
Tubuhku berguncang hebat. Muak menyaksikan manusia-manusia di sekelilingku yang
tidak satupun bergerak mencari bantuan.
Aku menendang kaki salah satu
dari mereka, kutahu wajah mereka ketakutan melihatku yang semakin menggila.
"CEPAT PANGGILKAN
AMBULANS ATAU AKU AKAN MEMBUNUHMU!!!" Air mataku terus merembah. Hingga
semuanya keluar, pelan-pelan aku menenangkan tangan kananku yang bergetar.
Gambaran dalam pikiranku
menciptakan kecemasan yang tidak pernah aku harapkan untuk terjadi. Kondisi
Kala lagi-lagi tidak dipedulikan oleh petugas PMR yang barusan pergi mencari
bantuan.
Ting!
Ponsel Kala menyala tepat
saat aku akan berdiri untuk memastikan orang-orang bodoh tadi benar menelepon
pihak rumah sakit.
29 Februari 2020.
Hari ulang tahun Kala.
Awalnya kupikir begitu sampai
terlintas di benakku soal Kala yang pernah cerita dia memiliki kanker darah
sejak sepuluh tahun lalu.
Tubuhku terjatuh, mengingat
teman karibku ini tidak pernah punya ketenangan dalam hidupnya barang
sekalipun.
“Mama Gina... ini Jingga.”
Dengan nekat aku menelepon mama angkat Kala.
Di seberang sana tidak
terdengar apapun selain imaji di benakku betapa marahnya orang yang kutelepon.
Emosinya terasa sampai sini.
Akan tetapi, aku tetap
menunggu balasan. Sampai akhirnya memilih bermonolog dalam panggilan itu. Aku
yakin Mama Gina tidak sekejam yang aku kenal.
“Kala pingsan....”
Sambutan lengang yang ‘tak pernah terlampiaskan.
“... gejala kanker darahnya
kambuh….”
Kesepadanan jiwa yang berperangai paradoksal.
“Mama Gina?”
Stereotipe mendesak pretensi.
“Biarkan saja Kala mati. Jangan bawa dia ke dokter.”
Menjadikan mentari ‘tak lagi indah menyingsing di cakrawala.
…
“Ma... tolong….”
Respons seperti biasanya aku
harapkan dari Mama, satu-satunya orang yang mengizinkan aku berbagi makanan dan
memberi hal-hal yang kupunya untuk Kala, yang Mama kenali sebagai temanku sejak
kecil.
Mataku yang sudah bengkak
menatap Mama dengan harapan terakhirku yang sudah di ujung tanduk. Aku sudah
sangat lelah menjerit dan menangis. Namun, tidak salah kan jika aku menaruh
harap terakhir kepada Mama karena dia selalu membuat aku bisa terbang usai sayapku
patah?
“Kala sudah sering kita beri
bantuan, ‘kan?”
“Jingga ingin bantu Kala juga
kali ini.”
“Kala sedang butuh
pertolongan, Ma....”
“Mama tahu ‘kan kalau dia
sedang sakit?”
“Waktu Kala sebentar lagi,
Ma.”
“Dua puluh sembilan Februari.
Dua hari lagi, tepat di hari ulang tahun kami.”
“Tolong bantu biaya
pengobatan Kala, ya? Boleh, Ma?”
Namun kali itu... aku melihat
Mama jauh berbeda.
Sorot mata Mama yang nyalang
membentuk rasa ketakutan tersendiri buatku di usia tujuh belas tahun ini. Aku
selalu menerka bahwa Mama mempermasalahkan aku sebagai anak laki-lakinya yang
cengeng dan banyak mau.
Plak!
Satu tamparan keras melayang
dari tangan kanan Mama. Kupikir itu cukup buat memarahiku, namun….
Plak!
“Sadar, Jingga!”
“Kala cuma orang lain yang
memanfaatkan kamu!”
Plak!
“SADAR!”
Apa-apaan ini?
Aku tidak terima Mama sudah
berubah menjadi jahat. Jahat yang setara dengan pembunuh bayaran. Beraninya dia
mengatai Kala memanfaatkan aku? Jelas-jelas Mama sendiri yang bilang aku hanya
punya satu teman, yaitu Kala.
Plak!
“Sadar, Jingga!”
Tidak.
Aku tidak mau menuruti
perintah Mama.
“Mama sama saja!"
Plak!
Tamparan terakhir mendarat di
pipi sebelah kiri. Tidak terlalu jelas aku mengingat bagaimana Mama berhenti
melampiaskan amarahnya. Jelas-jelas aku sakit hati, sampai-sampai aku tidak
lihat ekspresi Mama yang melihatku pergi dari rumah malam itu dengan masih
mengenakan seragam putih abu.
Malam itu, aku merasa bisa
hidup dengan menggantungkan diriku di atas kehendak seorang teman. Sepenuhnya
aku relakan Mama yang memarahiku dengan tetap berlari di tengah-tengah hujan
untuk menghampiri temanku. Setidaknya Kala tidak terlambat ditangani.
Tapi... pernahkah kalian
berpikiran sama denganku? Menganggap tidak tahu arah, sehingga memilih untuk
menyelamatkan hal inferior dibanding hal vital? Bingung apakah sudah memilih
rute yang etis, atau justru... terbenam lembah kecacatan?
“Untuk apa kau kabur lagi
dari rumah?” Samar-samar suara Kala tertangkap di indera pendengaranku.
Saat itu aku sudah berada di
rumah sakit. Tepatnya di ruangan Kala dirawat. Semuanya berlalu begitu cepat.
“Berhentilah membantuku,
Jingga. Kau saja tidak bisa membantu dirimu sendiri, bagaimana ingin
membantuku?" Kala berdecih dalam ucapannya, bersamaan dengan lamunanku
yang terhambur.
“Aku penyakitan. Waktuku
tidak lama lagi.”
“Kau tidak ingin ‘kan aku
mati?”
Aku mengangguk, lantas
menggeleng dan terisak lagi berkat seharian mengeluarkan air mata.
“Maka dari itu… kaulah yang
harus mati.”
Senyap.
Aku tidak mendengar apapun
selain ucapan Kala dan suara alat-alat medis di ruangan tersebut. “Orang-orang
sudah mencarimu.”
Pembohong. Aku tidak
bisa percaya siapapun kali ini. Bahkan Kala sekalipun, kali ini dia memilih
untuk memihak kepada kebohongan.
“Bawa kembali uang milik
ibumu. Jangan menjadi pencuri untuk melunasi biaya rumah sakit untukku. Aku
bukan teman sebaik yang kau kira.”
Pembohong. Haruskah
semua orang berbohong untuk membuatku kembali ke jurang yang tidak bisa aku
keluar darinya?
“Jingga!”
“Lihat, ‘kan? Mereka
mencarimu. Selamat... kau gagal menyelamatkan dirimu sendiri!”
Haruskah aku mengikuti
perkataan Kala yang klise? Demi menjalani hidup yang tidak pernah bisa kutebak
kelanjutannya?
“Jingga! Keluar dari sana!”
Haruskah Mama memanggil
penjahat untuk menculikku agar kembali ke rumah? Dengan keadaan mataku yang
menyaksikan teman karibku berusaha melepaskan ventilator dan infusannya dengan
kedua tangannya sendiri?
Jantungku berdetak lagi
setelah sepersekian detik terjeda. Isakanku kembali terkesiap.
“KALA!!!” Jeritanku membuat
keadaan semakin berisik. Dokter dan perawat beriringan memenuhi ruangan Kala.
Bersikeras memastikan Kala masih bisa diselamatkan.
“Apa
yang kau tahu tentang kehidupanku? Selama ini, aku hanya menjadi boneka yang
ditawarkan belas kasihan. Aku tidak ingin lagi hidup dalam bayang-bayangmu yang
merendahkan!”
“KALA!”
Mengapa penjahat-penjahat itu masuk ke ruangan Kala dan mengikat
tanganku? Pertanyaan yang
kusisipkan di samping kegentingan dalam ruangan itu.
“JANGAN MATI!”
“KALA!"
Suaraku semakin serak.
Penjahat itu dengan kasar menahan tubuhku. Padahal aku sudah merasakan sakit
luar biasa setelah Mama menamparku di rumah beberapa waktu lalu. Tanpa aku
sadari pula, penjahat itu sudah menusukkan jarum di lengan kananku.
“Kalau Jingga mati, Kala akan hidup. Jadi, kau harus mati.” Bisikan terakhir yang kutangkap dari Kala,
sebelum akhirnya elektrokardiograf menunjukkan kondisi asistolnya.
"Ka… la?"
"KALA!"
“JINGGA!”
Jarum jam ikut berhenti
bergerak, seiring berhentinya detak jantung sang empu penghuni bangsal di rumah
sakit tersebut.
Kehilangan… teman, maksudnya? Aku kehilangan satu-satunya orang yang tahu
banyak soal diriku? Bahkan jika air mataku tidak lagi bisa aku keluarkan karena
lelah menangisi hal yang tidak bisa kucegah?
Aku terpaku lemas. Seolah
waktu benar-benar terhenti saat itu juga. Kala… benar-benar mati? Dan… aku
tidak bisa menangkalnya?
“Isolasi kedua tangannya!”
“Segera bawa pasien ke ruangan!”
“JINGGA SEKALA!”
Gelap. Seisi
ruangan mendadak gelap. Aku bersikeras meraih tangan kananku yang sakit setelah
mendapatkan suntikan paksa dari penjahat ketika di ruang rawat Kala, tetapi aku
merasakan sesuatu berbahan besi yang berat menahan kedua tangan dan kakiku. Oh,
ya! Kala! Di mana dia?
“Jelas-jelas Jingga itu tidak waras! Anak itu gila! Semua peralatan di
ruang UKS sudah dirusak olehnya!” Seseorang menggertak di luar sana, seiring dengan lampu ruanganku yang
menyala.
“Jangan kirim Jingga ke sekolah kami lagi. Kami bukan pengasuh yang
harus banyak dirugikan. Anda bisa membiarkan anak gila itu homeschooling.”
“Saya mohon, Pak....”
“Tidak! Apalah penyakit jiwa yang dideritanya! Jangan harap kami akan
mengasihani.”
Aku menyaksikan Mama berlutut
di depan lelaki jangkung yang pemarah itu di luar sana. Aku berkeinginan
bangkit untuk menguatkannya... tetapi aku tidak berdaya dengan tubuhku yang
terisolasi ini.
“Sudah rileks?” Suara orang
yang menyalakan lampu ruangan menginterupsiku. Aku mendapati Mama sudah hilang
dari pandangan, sepertinya mengikuti lelaki jangkung yang mencacinya tadi.
“Apa yang terjadi?” tanyaku
pada perempuan penginterupsi.
“Kamu habis dari fase
residual.”
“Fase residual? Maksudmu….”
“Iya.” Orang itu nampaknya
sudah paham apa yang aku mau coba katakan.
Dia menyodorkan segelas air
putih dengan stainless straw ke
arahku. Aku menyesapnya perlahan.
“Berapa lama?”
“Tiga bulan tujuh hari.”
Aku mengembuskan napasku yang
terasa agak sesak. “Lalu, dimana temanku? Kala, namanya Kala!”
“Soal itu….”
Antusiasku memudar seiring
orang di depanku bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Yang dia
katakan sangat bertentangan dengan apa yang sudah aku alami.
Dia bilang Kala itu tidak
pernah ada?
Seperti yang
sebelum-sebelumnya aku alami selama fase residual? Seperti aku mengalami
halusinasi berlebihan hingga aku tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana
yang fana? Seperti aku bertemu dengan Bular untuk membunuh Jim— Si Human Trollhunter —hingga aku sadar aku
melukai temanku di dunia nyata? Seperti aku yang menggila di tengah-tengah
pelajaran karena teman imajinatifku yang terus menggangguku sampai-sampai aku
harus dropout di kelas tiga SD?
Tidak. Aku merasakan kalau
orang dalam imajinasiku yang satu ini benar-benar nyata. Kala benar-benar ada
dalam diriku, aku menganggapnya begitu.
“Tidak mungkin! Dia habis
bunuh diri, jelas-jelas aku melihatnya melepaskan alat-alat medis dengan kedua
tangannya sendiri….”
“Melepas alat medis?
Kedengarannya seperti insiden yang dialami pasien ruang sebelah seusai dia
ditangani di UGD milik rumah sakit umum daerah. Kamu kenal dengannya?” tanya
orang tadi padaku sembari dia mencatat sesuatu yang kutebak isinya semua
pernyataan yang aku lontarkan. Mungkin salah satu komponen untuk analisis
penyakit yang aku derita?
“Tidak. Aku tidak tahu…,
mungkin? Memangnya kenapa?”
“Dia pernah menjadi pasien
isolasi di sini selama lima tahun. Lalu meninggal bunuh diri di rumah sakit
lain seminggu yang lalu. Kamu masih tidak sadarkan diri saat itu, tetapi sering
relapse. Kami pikir kamu hanya mimpi
buruk saja.”
“Jadi... maksudmu Kala adalah
pasien ruang sebelah dalam halusinasiku? Lalu bagaimana dengan....” Aku mencoba
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di RSJ selama aku diisolasi
tanpa sadarkan diri dengan apa yang aku ingat terjadi pada Kala, hingga sesaat
setelahnya aku menyadari sesuatu....
“Kak Monik?!”
Aku sadar orang di depanku
adalah Kak Monika ketika dia membuka maskernya. Dokter pribadiku dari kecil,
yang mana lebih dekat denganku daripada aku dengan orang tua angkatku. Aku
langsung melemparkan senyum terbaikku untuk pertama kalinya.
“Bisakah bukakan ini untukku?
Aku mau bebas,” sarkasku sambil memasang wajah yang malang.
“Tentu saja!” Kak Monik
lantas dengan semangat melepas alat-alat yang mengisolasi pergelangan tangan
dan kakiku.
“Janji tidak akan membuat
keributan di luar sana?”
“Janji!”
Kak Monik mengajakku keluar
dari ruang isolasi, berjalan-jalan di koridor rumah sakit sembari menunggu Mama
Shafa—orang tua angkatku—selesai urusannya dengan lelaki jangkung tadi yang aku
sadari adalah kepala sekolahku. Mama dan kepala sekolah sedang membicarakan
sesuatu di ruang konseling milik rumah sakit bersama dengan salah satu dokter
yang mungkin memberikan rekam medisku untuk menjamin aku bisa kembali masuk
sekolah.
Aku tidak terlalu terganggu
dengan itu. Sebenarnya tidak apa-apa jika aku tidak lanjut, lagipula aku sudah
banyak merugikan pihak sekolah. Tapi, aku tetap menghargai jika Mama bersikeras
membuat aku layak masuk sekolah umum dengan cara meyakinkan kondisiku kepada
kepala sekolah.
“Kamu mau lihat?” tanya Kak
Monika menunjuk kepada ruang isolasi di sebelah ruanganku yang sempat dia
sebutkan itu adalah bekas pasien yang minggu lalu bunuh diri saat dirawat di
rumah sakit karena kanker darahnya.
Aku berjalan masuk seiring
dengan Kak Monika yang menceritakan kisahnya, sama seperti biasanya kalau aku
menagih untuk diceritakan suatu hal.
“Ruangannya selalu kosong
semenjak dia meninggalkan rumah sakit ini karena harus ditangani kanker
darahnya di rumah sakit lain. Waktu itu, mentalnya belum sepenuhnya pulih.
Tapi, jika dia tidak ditangani kanker darahnya, dia bisa mati di ruang isolasi
ini. Akhirnya dia mendapat penanganan untuk kanker darah.”
“Namun selang beberapa minggu
pasca penanganan, dia bunuh diri dengan melepas alat medis ketika masa
kritis-kritisnya."
Aku mendongak. “Dia memilih
mengakhiri hidupnya?” Kak Monika mengangguk meng-iya-kan.
Baiklah, aku mendapat poin
pentingnya sekarang.
Aku mungkin saja tidak kenal
dengannya. Tetapi agaknya kami memiliki keputusan akhir yang berbeda meski
diawali situasi yang sama.
Aku mulai paham apa artinya.
Kala dalam ilusiku adalah
diriku sendiri. Diriku dari sisi yang berbeda. Aku menyadarinya ketika
berkali-kali aku memikirkan Jingga Sekala, nama lengkapku. Kala adalah nama
panggilanku ketika aku masih seorang manusia normal, ‘kan? Nama panggilanku
ketika orang tua biologisku masih bisa kusaksikan di usiaku yang masih empat
tahun. Nama panggilan yang aku sukai sebelum aku dinyatakan menderita
skizofrenia pasca meninggalnya Mama saat menderita kanker otak. Dan... nama
panggilan yang kuharap masih bisa aku dapatkan dari Papa yang entah ada di mana
sekarang.
Namun, aku sadar. Kepribadian
Jingga ternyata membantuku bertahan dari hasutan Kala untuk membunuh diriku
sendiri saat fase residual.
Berbeda dengan dia yang
sempat singgah di ruang isolasi ini, membuatku
berpikiran....
Hei, kita sama. Kenapa kau memilih akhir yang berbeda? Kau menjadi
gagal. Kau gagal mencegah seorang ‘Kala’ dalam dirimu. Kau gagal untuk menolak
hasutan ‘Kala’. Kau gagal mencegah dirimu untuk menyerah.
... dan berpikiran....
Bukankah itu artinya aku menang?
Aku berhasil?
Aku tidak menyerah!
"Jingga Sekala lolos
ujian skizofrenia!" teriakku antusias kepada Kak Monik.
Aku langsung menangis bahagia
sejadinya. Menghambur ke dalam pelukan orang yang selalu siap menenangkanku
saat relapse, yang membiarkanku
mengetahui secara terang-terangan apa penyakitku, dan yang masih bertahan
sampai sekarang untuk tetap jadi dokter pribadiku.
Aku sadar aku adalah seorang
remaja laki-laki penderita gangguan jiwa yang cengeng. Tapi, Kak Monik selalu
saja menganggapku berusia tujuh tahun, sepuluh sisanya dia korupsi! Kak Monik
sempat mengajariku kalau menangis itu adalah hal yang wajar, apalagi untukku.
Itu membuatku merasa diapresiasi tentunya.
Hari itu membuatku menyadari
kalau aku bisa bertahan hidup karena menganggap hal-hal berharga di luar sana
sedang menanti.
Aku pernah menanti jadwalku
untuk mengakhiri hidup selama lima tahun berturut-turut, saat masa-masa paling
sulitku memasuki usia remaja. Namun, aku selalu menundanya.
“Besok saja, hari ini aku bahagia soalnya.” Itu hal yang aku katakan pada diri sendiri tiap
kali aku memastikan waktu yang tepat.
Setelah hari itu, aku percaya
kalau dalam saat-saat tergelap, harapan adalah satu-satunya hal yang perlu aku
beri untuk diriku sendiri. Tepat seperti apa yang telah dikatakan oleh Paman
Aairoh dalam kartun kesukaanku.
Aku percaya bahwa kebahagiaan
selalu ada, tidak peduli dia jelas terlihat atau tidak.
Dan....
Aku yakin tidak akan pernah
ada waktu yang tepat untuk mengakhiri diri sendiri. Makanya, sampai hari ini
aku turut menyesal tidak pernah berbicara dengan pasien yang sempat ada di
ruangan itu, yang jelas-jelas ruangannya persis di sebelah ruang isolasiku.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar