Narasi 3 - Di Tepi Melankoli

"Kamu berkelaluan meredam atmosfer bengis dalam jiwamu, Kar. Di sini. Dalam hatimu. Kamu begitu pemaaf." Aku pernah menyuarakan ini kepada kamu, Karsa. Punggung tanganku sempat menuding ke arah suatu tempat, di mana detak jantungmu yang kuharap selalu bernyawa itu bertakhta.


Namun, masihkah kamu ingat jawaban yang kamu utarakan saat itu? Bisa kubilang, itu adalah hal terkonyol yang pernah kulihat dari sisi jiwa polosmu. Kamu menampakkan wajah kebingungan. Layaknya penjelajah yang 'tak tahu arah mata angin. Kala itu, kamu tetap teguh pada pendirianmu dengan senantiasa menagih makna di balik kata-kataku. Padahal, aku sudah menepisnya beribu-ribu kali.

Kamu akhirnya mengancamku, dengan iming-iming tidak akan berteman lagi jika aku tidak menjelaskan kalimat anehku. Aku paham, kamu sedang bergurau waktu itu, Kar. Namun, untuk kesekian kalinya, bahkan hal sesederhana itupun amat aku sayangkan.

Sekarang, ancamanβ€”maksudku gurauanmuβ€”itu memainkan perannya. 

Kita tidak pernah lagi berselisih. Tidak pernah lagi melempar lelucon satu sama lain. Parahnya lagi, nampaknya kamu amat berharap untuk tidak bisa menemuiku lagi. Kamu terlihat amat mengharap ketidakberadaanku dalam dongengmu. Dan, kamu 'tak lagi ingat bahwa alasan mengapa naskah milik kita terhempas remuk bukanlah karena lelucon itu. Melainkan, itu semua karena tinta pena yang kami pinjam dari Sang Sastrawan telah melindap dari persemayamannya.

Jika direnungi, aku selalu berambisi kalau raga ini punya lebih banyak alasan yang bisa kupertimbangkan untuk itu. Namun sial, para pakar sains yang dahulu kupercayai bisa menemukan mesin waktu, mereka justru belum pernah menunjukkan markah-markah yang dijanjikannya.

Bila saja sepeda tua yang pernah kamu kayuh setiap Minggu pagi masih bisa kupandangi di area parkir nan kuno ini, mungkin aku akan membawanya melanglang buana demi mendatangi duniamu. Dunia yang entah ada di mana. Dunia yang selalu kuharap bisa memperlakukanmu dengan baik. Dan dunia yang kupikir akan terlalu asing bila aku menjadi penduduknya. Bak alkisah nan amat tidak mungkin untuk menempatkanku sebagai tokoh utama sedikitpun. Bak sajak padat yang tidak memiliki ruang lebih untuk aku menyumbang seuntai kutipan indah. Bak melodi yang sudah sempurna sehingga 'tak lagi memerlukan irama figuran. 

Dan... ya.

Pada akhirnya, kamu pun 'tak mengenaliku. 

Juga, pada akhirnya, aku pun kehilangan rawi senja yang dahulu selalu kamu dambakan untuk bisa pergi ke bintang di atas sana bersamaku.

Kamu pergi.

Hilang.

Lenyap. 

Wujud utuhmu, 'tak lagi kuasa aku ingat.


Untuk Karsa, dari temanmu Sera.

Komentar

  1. β’ΈοΈŽ2023 𝖻𝗒 π—“π—Œπ—„π—‹π—π—‡π—‹π–½. π—‰π—…π–Ίπ—€π—‚π–Ίπ—‹π—‚π—Œπ—† π—‚π—Œ π—‡π—ˆπ— 𝖺𝖼𝖼𝖾𝗉𝗍𝖾𝖽!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer