Narasi 2 - Relai Potret Kuno
Sore itu kamu pernah bersuara, "Jangan lalui jalan itu. Buatlah setidaknya sejarah tentang kita memakai alat potret ini."
Netramu kudapati amat antusias akannya. Membuatku percaya bahwasanya tidak ada yang mampu meluputkan hal elok ini di kemudian hari.
Keras kepalaku waktu itu masihlah sama, jika kamu mengetahuinya, Kar. Aku masih kerap membantah permintaan sederhana seperti yang sempat kamu utarakan.
Bila saja rawi senja membolehkan, aku mau kamu kembali ke tempat ini. Menagih ulang petisi yang semestinya bisa kubantu untuk menempa skrip jawaban atas pertanyaan itu.
Bila saja rawi senja membolehkan, aku berharap mengiyakan permintaanmu untuk membuat sejarah dengan alat potret yang kamu maksud. Mengambil ulang gambar yang menurutmu kian bahari jika diletakkan dekat rak buku di ruang belajar.
Bila saja rawi senja membolehkan, aku bahkan rela mengumpulkan lembaran-lembaran kandas dari klise cakrawala yang kamu dambakan sejak lama.
Lagi-lagi, aku cuma bisa mempersalahkannya, Kar. Kini aku tidak punya sejarah yang kamu bincangkan. Sahutanmu 'tak lagi kuasa untuk kudengar. Keberadaanmu tidak lagi pantas aku dapatkan. Karena pada dasarnya, aku yang mengusirmu dari tempat ini. Berlagak tidak peduli, dan hanya memberimu sulut api.
Aku tidak pernah layak menjadi protagonis dalam naskah yang kita rangkai di tepi stasiun waktu darmawisata dua tahun lalu. Lucu sekali jika dibayangkan, aku sendiri yang mengusulkan ide untuk tema kisah itu, tapi aku juga yang menghancurkannya.
Untuk temanku, Karsa.
Dari aku yang sempat mengusulkan ide cerita untuk kami, Sera.
βΈοΈ2023 π»π ππππππππ½. ππ πΊπππΊππππ ππ πππ πΊπΌπΌπΎπππΎπ½!
BalasHapus