Cerpen 2 - Seliri Tukas Menyita 'Tuk Bersuara
[Cerpen ini telah diikuti dalam lomba menulis cerpen OU FESTIVAL VIII 2023 dengan tema: Persatuan dalam Keberagaman]
Tiga ketukan bertempo ayal nan menyesakkan berturut-turut mendengungkan tawanan bunyi di telinga banyak kepala. Ruang dengan atmosfer yang tanpa alasan berubah menjadi bernuansa duka membuat isak yang dihasilkan naluri kecil terhenti sejenak. Kata keramat ‘kemiskinan’ itu kembali mengingatkan pada figur-figur ‘tak bertanggung jawab pelopor adikara yang menciptakan alasan mengapa seluruhnya terlihat laksana bongkahan pekat nan penuh kekosongan. Kedua orang di depan sana terlihat mendung penuh kekecewaan.
“Kaluna, jalan lepas yang dapat diambil dari Amanat Keempat adalah afeksi dan tugas berkenaan sesama dan lingkungan, serta silih membentengi agar tidak terkancah jauh ke perbedaan falsafah.”
Di waktu yang sama, interupsi dari seorang wanita di depanku meruntuhkan lamunan yang baru saja kurancang untuk memberi ruang imajiner dalam khayal. Aku meladeninya dengan seringai simpul kancap akan keheranan. Rupanya raga ini hanya sedang mengantuk. Yang jelas di pikiranku sekarang cuma alunan tarian dari batang-batang pulpen senilai angsuran biaya sekolah tiga tahun yang tengah dilakonkan oleh orang di sebelahku. Dengan melihatnya saja, aku sangat khawatir kalau suatu hari pulpen itu hilang. Mungkin jika aku adalah dirinya, bisa saja Nenek memarahiku. Oh, ya. Nenek. Sedang apa Nenek di rumah? Apa dia sedang tidur siang?
“Manusia beradab dan mulia, dirancang untuk tidak saling menyakiti.” Guru pengabdi bangsa yang sempat menginterupsiku beberapa waktu lalu itu kembali berbicara. Orientasiku sangat ‘tak tentu arah kala itu, bersikeras menerka-nerka apa yang ia bicarakan. “Karena orang tahu apa yang sepadan dan apa yang hina, apa yang berbahaya dan apa yang bermanfaat.”
Baiklah, kali ini aku paham meski tidak sepenuhnya. Wanita yang menyuluh tajuk Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolahku ini tengah menjamah perkara kenistaan penghantam ketidaksetimpalan bagi para pelaku pidana di luar sana.
“Mereka yang melakukan kejahatan dan merenggut bahagia orang lain amat layak untuk diberikan balasan yang setakar. Tanpa hiraukan dari mana punca pencuat para tawanan itu. Bayangkan saja, betapa mendesaknya andil para aditokoh majelis hukum di negeri tercinta ini,” sambungnya. Emosinya terasa gusar. Memunculkan ekspresi melotot pada segenap wajah orang-orang yang kini menjadi pendengarnya. Kecuali diriku yang justru makin merasa sukar menangkap apa maknanya.
Netraku perlahan beralih atensi ke sisi kiri. Sejujurnya, tengkuk milikku sedang sakit dan sedikit sulit digerakkan, namun aku hanya bertanya-tanya mengapa orang di sebelahku tidak berhenti mengadakan keonaran dengan pulpen mahalnya.
“Jangan dengarkan dia,” ucap orang aneh itu. Aku tertohok karena terkejut. “Kenapa?” sahutku. Yang tadinya hanya terduduk dengan tenang, kini dia berubah layaknya monster yang mengamuk.
“Jangan dengarkan ocehan guru itu!”
“Kubilang jangan dengarkan orang di ambang sana kalau kau tidak mendambakan terkena masalah besar!” Dia memberangsangkan nada bicaranya. Kepalaku mulai tersuntuk. Seakan-akan banyak sekali tanda tanya yang mendadak merampas nalarku secara kasar. Naluriku terpukul sekaligus lepas dari tempatnya. Mata orang yang menyergahku kian mendung, layaknya kehadiran guntur yang rampungnya melabuhkan hujan deras sehabis puas memaki-maki bumi.
“Kal, aku mohon jangan indahkan kata-katanya. Jangan, Kal....” Niatku untuk menimpalinya baru saja akan muncul, tapi tangis orang aneh itu menghancurkan segalanya.
“Kamu tahu? Menggarap kastawa pun tak piawai menelap kaladuta. Mengertilah itu, Kaluna. Mengertilah!” Dia menjerit sekeras-kerasnya. Mengguncang-guncang tubuhku yang kini terduduk di lantai. Batinku terhunus.
“Apa maksudmu, wahai orang aneh?! Apa maksudmu...?” timpalku sekenanya. Amarah dari orang aneh itu tanpa diketahui menulari batinku. Emosiku ikut bergejolak seiring jeritan tangis darinya.
“Orang aneh, katamu? Aku ini temanmu, Kaluna! Aku ini temanmu! Sadarlah!” Orang aneh itu kembali mencerca dan menamparku, dibayangi oleh tampang buncah di rautku yang sebenarnya kesal karena pipiku jadi memerah. Teman, katanya? Sedari tadi dialah yang mencaci habis-habisan, apa teman bisa terlihat seperti itu? Menyedihkannya lagi, kenapa orang-orang yang kini menjulang mengelilingi aku yang terduduk di lantai hanya diam saja? Guru yang disebut-sebut oleh orang aneh itu juga ada di sana.
Aku coba mengehentikan napas yang tersendat-sendat. Kepalaku berat. Aku memejamkan mata perlahan, menelantarkan peluh yang berhamburan di sekujur raga. Hari ini melelahkan, batinku. Ini seperti bukan kenyataan. Jasadku terpasah dalam marcapada yang porak-poranda. Sanubariku memperkirakan ini hanyalah delusi yang dengan angkuh diriku dekap. Menggarap kastawa pun tak piawai menelap kaladuta. Apa maksudnya? Tidak mungkin orang aneh itu datang dari masa depan. Dia bukan siapa-siapa.
“Kaluna! Sadarlah!” Seruan itu seperti aku mengenalinya. Karsa? Kaukah itu? Ada di mana dia? Aku bahkan tidak bisa memandangnya di kerumunan. Keputusasaan diriku nyaris tertutupi kekalutan. “Bantu aku....Karsa.”
“Kaluna! Nenek meninggal! Nenek meninggal dunia, Kaluna!”
Kerongkonganku tersekat. Ulu hatiku sontak ngilu. Pedih sekali, kalimat itu merunjam telingaku. Mengelih ke segenap rongga ruangan, aku baru menyadari. Aku bukan berada di sekolah. Tidak ada orang aneh, tidak ada pulpen mahal yang diketuk-ketuk ke meja, tidak ada papan tulis di depan sana, dan tidak ada apapun selain keadaanku yang sudah kacau.
Kaluna. Kumohon lepaskan. Lepaskan itu. Kudapati melalui gerakan mulutnya, orang di depan sana mengatakan hal barusan.
“Apa? Apa yang perlu kulepaskan?” balasku heran. Aku menundukkan kepala, mencoba memeriksa apa yang salah denganku. Dan, sesuatu buruk baru saja kulihat. Aku langsung teringat semuanya.
“Pulpen itu! Tolong lepaskan pulpen itu, Kaluna!” sentaknya lagi.
Aku langsung berdiri. Membiarkan pulpen mahal milik sahabatku itu jatuh ke lantai tanpa komando. Tanpa peduli betapa perihnya lubang luka yang telah kubuat menggunakan pulpen rancap di pergelangan tangan kanan. Kedua tungkaiku refleks bergegas ke dalam ruangan tempat jasad Nenek berbaring di sana. Karsa benar. Nenek sudah meninggal. Bahkan eksistensiku di sampingnya saat itu hanya sia-sia. Malangnya diriku yang belum bisa menerima realitas. Aku memundurkan langkah, menuju keluar dari ruangan yang tengah berkabung itu.
Saat terduduk di kursi tunggu rumah sakit, aku cuma mampu menyeringai lantas merenung. Seminggu lalu, Nenek secara resmi divonis hukuman penjara seumur hidup atas tuduhan sebagai bandar narkotika. Aku sebagai cucunya bisa apa waktu itu? Kita hanya orang miskin, dengan aku yang yatim piatu. Rumah yang kutinggali dengan Nenek telah luluh lantak terbakar api. Tuduhan itu jelas-jelas tidak sah dengan menuduh nenekku sebagai orang tua yang tidak tahu apa-apa. Berkali-kali aku memberi pembelaan dari kursi peserta saat persidangan pertama satu bulan lalu. Namun tidak seorangpun yang peduli kala itu. Karena semua yang terlibat di persidangan itu sudah dicekoki uang pelicin oleh pelaku aslinya yang menganeksasi kekuasaan politik. Nenek sudah dijebak oleh mereka.
“Terdakwa kami tuntut adalah pidana seumur hidup penjara, sesuai dengan….” Betapa terpukulnya ragaku kala itu. Aku hampir tidak punya harga diri karena telah berdeku di hadapan tetangga-tetanggaku yang tahu bagaimana sebenarnya Nenek. Semua orang yang kupercayai dekat dengan Nenek dan selalu Nenek beri bantuan kala mereka susah, semuanya justru malah ikut terjerumus dalam iming-iming ancaman. Sekejam itukah mereka sampai beraninya menyatakan kesaksian palsu di sidang yang berharga bagi nyawa seseorang? Apa itu karena kami hanyalah orang miskin, sehingga yang memiliki harta bisa memobilisasi politik? Sepertinya manusia-manusia rakus itu senang karena sekarang Nenek sudah meninggalkan dunia ini sehingga mereka bisa hidup tenang. Bukankah sama saja mereka telah merenggut hak-hak kehidupan dari Nenek? Jahat sekali. Setelah kupikir-pikir, orang aneh dalam mimpi itu benar juga. Menggarap kastawa pun tak piawai menelap kaladuta. Kurasa maknanya akan jadi seperti, ‘Jangan pernah memohon kepada manusia, mereka hanya bisa merendahkanmu.’ Ini membuat netra lesuku berkaca-kaca tepat saat itu juga.
Seseorang dalam mimpiku juga pernah bilang, “Mereka yang melakukan kejahatan dan merenggut bahagia orang lain amat layak untuk diberikan balasan yang setakar. Tanpa hiraukan dari mana punca pencuat para tawanan itu.” Tapi sekali lagi, orang aneh itu benar. Seharusnya aku tidak pernah menyimpan kalimat itu dalam hati. Karena sekarang aku merasakan ketidaksetimpalan itu. Nenek dan aku, kami cuma rakyat tingkat rendah yang belum mampu menyewa pengacara mahal untuk persidangan dan hanya menyerahkan semuanya pada takdir. Aku tidak bisa membalaskan dendamku kepada orang-orang tidak bertanggung jawab itu. Aku juga tidak bisa membenci mereka semua. Nenek tidak pernah suka jikalau cucu satu-satunya ini adalah seorang yang penuh akan kebencian dan dendam.
Di atas kursi penuh akan rapalan doa ini, aku mencoba menjalankan rencana idiot dengan memukul kepala sekeras-kerasnya. Namun, hasilnya nihil. Luka di tangan kananku malah kian memburuk, dan aku belum kunjung berniat mau mengobatinya. Tangisku malah kian mengiris sekujur tubuh yang perlu merintang payah. Orang-orang yang berlalu lalang di lorong rumah sakit itu kini tertuju padaku seolah bersimpati. Hingga waktu itu tiba, seorang anak kecil dengan kursi roda di seberang sana hendak menghampiri dengan membawa boneka anak panda miliknya. “Jangan menangis. Cantiknya Kakak bisa hilang, nanti matanya seperti boneka ini.” Anak itu tertawa, diikuti bibirku yang perlahan mengulum senyum.
Kini aku paham kenapa Nenek pernah bilang, “Jangan datangi bara api, atau kau akan ikut terbakar. Jika semua orang di dunia ini hidup dengan selalu memaksakan keegoisan, setiap waktu dunia akan berperang. Dan orang-orang akan mati karena tangannya sendiri. Berperanlah sebagai protagonis untuk perdamaian dunia, hindari perselisihan dan dendam. Keadilan tidak hanya berlaku di sebatas keputusan hakim. Berbuat adillah dengan menjadi baik kepada seluruh manusia di dunia ini. Bagaimanapun balasannya padamu. Jadilah cucu seperti itu untuk Nenek, Kaluna.”
Nenek tepat. Ternyata anak di depanku ini adalah jawabannya. Dia telah menyadarkanku dengan menyiratkan melalui netra sucinya, bahwa masih banyak orang yang tetap baik kepada orang lain. Biarpun saat mereka sedang dalam penderitaan.
Ⓒ︎2023 𝖻𝗒 𝗓𝗌𝗄𝗋𝗏𝗇𝗋𝖽. 𝗉𝗅𝖺𝗀𝗂𝖺𝗋𝗂𝗌𝗆 𝗂𝗌 𝗇𝗈𝗍 𝖺𝖼𝖼𝖾𝗉𝗍𝖾𝖽.
BalasHapus