Cerpen 1 - Sinkronisasi Melankoli
Hanya keterasingan yang dikonfrontasikan anak itu selama empat tahun belakangan ini. Hanya keheningan yang menyertainya tiap kali berfantasi ria di dunia pengacau yang dibuatnya sendiri. Dan, hanya pendapat nista mengenai kondisi mentalnya yang masih sampai sekarang kian memburuk yang dipersoalkan. Reinar Taksa Arjunaka masih betah singgah dalam imajinasinya. Anak itu tidak mau berteman dengan dunia luar, karena semua manusia sama saja, anggapnya. Dia menjalankan kehidupan sekolahnya dengan penuh resiko. Bagaimana tidak? Kematian ayahnya empat tahun lalu membuatnya mengidap skizoafektif hingga sekarang, saat Reinar menginjak kelas tiga sekolah dasar. Empat tahun pula sudah berjalan pengobatan melalui psikiater pribadi yang dipekerjakan secara rutin oleh mama untuk Reinar. Ya, seperti yang kita ketahui sekarang, Reinar tetap bersekolah. Dan tentu, anak itu merupakan salah satu anak yang berprestasi di sekolah.
Malam itu, seusai belajar hingga larut, Reinar beranjak tidur. Namun, kali ini rasa kantuk sama sekali tetap tidak menyerangnya. Ini sebenarnya pertanda buruk, karena yang sudah-sudah, di keadaan seperti inilah kondisi terburuk itu akan kambuh. Reinar bangkit, merasa gelisah dengan bisikan yang mulai menghantuinya.
“Hidupmu bahkan lebih buruk dari kisah hidup Voldemort, Reinar!”
Reinar spontan menutup telinganya. Ia berjalan gontai ke arah ruang tengah yang terbalut gulita.
“Kau sendiri tahu, tidak ada orang yang ingin menjadi temanmu di sekolah!”
“Tidak mungkin!” Reinar berteriak, keringat dinginnya mengalir mengiringi bisikan bertempo kusut itu. Cahaya lampu mendadak menyinari ruang remang itu, memunculkan sesosok mama yang memasang ekspresi panik menghampiri dan memeluknya.
“Rei, kamu ... dengar suara itu lagi?”
“Rei, nggak apa-apa, ‘kan, Nak?”
“Tenang Mama ada di sini buat kamu, Rei. Jangan takut, oke?” Pertanyaan beruntun terdengar memantul di ruangan tersebut, mendominasi tangisan penuh sesak dari Reinar. Maura sebenarnya agak takut-takut mengatasi hal ini, karena bisa saja Reinar tiba-tiba melukai dirinya sendiri atau orang di sekitarnya tanpa sadar, dan dengan sangat brutal. Diam-diam sembari menenangkan Reinar yang tubuhnya mulai melemas dan nyaris pingsan, Maura merogoh sakunya lantas meraih ponsel pintarnya dari sana. Ia mulai mengetikkan pesan kepada Dokter Vine, psikiater pribadi putra kecilnya, untuk segera datang ke lokasi dan menangani Reinar yang relapse.
««»»
Malam menegangkan itu sudah berakhir sebulan yang lalu. Setelah kedatangan Dokter Vine yang berpesan kepada Maura untuk tidak lupa memberi Reinar obat berbentuk cairan putih sebagai antidepresan khusus setiap hari, anak itu tidak lebih buruk dari sebelumnya. Namun, Reinar semakin sering melamun menatap celah jendela kamar dan berbicara sendiri di fantasinya.
“Wingardium Leviosa!”
Pagi itu, Reinar yang nampak berkomat-kamit mengucapkan kata-kata aneh membuat Maura cemas, takut-takut anak itu akan relapse jika sudah berkoneksi dengan dunianya.
“Mama, lihat! Mantra Reinar bekerja! Buku itu melayang, Ma!” Dengan penuh semangat, anak itu menarik-narik ujung baju Maura agar sang mama menunjukkan atensi pada buku melayang yang bahkan Maura sendiri tidak melihatnya.
Pedih, memang. Maura hanya bisa tersenyum tipis menyaksikan segala yang terjadi pada putranya selama ini. Tentu, senyum berbalut luka. Maura bingung, harus sampai kapan dia bertahan menjaga sosok anak dengan penuh kekurangan seperti ini? Sampai kapan? Bahkan, kenangan tentang sang ayah masih membekas di kepala Reinar, melalui dongeng “Harry Potter” yang hingga kini menjadi obsesi Reinar.
Dahulu, ketika mendiang ayahnya masih hidup, Reinar kecil menjadikan dongeng legendaris ini dongeng kesukaannya. Dan, sang ayah mendukung imajinasi sang anak dengan menemaninya memainkan parodi dari dua seri pertama dongeng Harry Potter (Harry Potter and The Philosopher’s Stone dan Harry Potter and The Chamber of Secrets—yang kini menjadi seri favoritnya). Reinar sangat senang dengan itu, ia selalu antusias jika gilirannya memerankan aksi menodongkan tongkat yang terbuat dari ranting pohon kepada sang ayah dan menyebutkan sepatah mantra. Dan, hingga kabar kematian ayahnya sampai ke telinga, dirinya tidak kuasa menerima dengan lapang dada. Reinar tumbuh dengan gangguan itu. Kendali diri yang rusak berkeping-keping membuat dongeng tersebut menjadi obsesinya.
Reinar pernah bilang kalau dia berpikir jika saja bisa menjadi seperti Harry (tokoh utama di dongeng favoritnya), maka Reinar bisa menjalani hidup yang lebih baik. Menemui ayahnya melalui cermin ajaib di Hogwarts seperti yang pernah dilakukan Harry saat menyendiri di ruang tempat cermin tersebut berada, mampu melakukan apa saja dengan sihir, dan memiliki banyak teman. Ya, Reinar hanya iri. Ia cuma butuh teman. Teman seperti Ron Weasley dan Hermione Granger yang selalu ada saat Harry perlu bantuan. Tidak lebih dari itu. Namun, keterbatasan mental inilah yang membuatnya punya trust issue berlebihan kepada diri sendiri maupun orang lain.
««»»
Tidak terasa, fase terberat itu sudah terlalui. Saat ini Reinar kembali menginjak fase pertama, di mana fantasinya masih normal. Ini bahkan fase teringan dari keseluruhan fase yang dialami penderita skizoafektif sepertinya. Dari keterangan inilah, yang membuat Maura mengizinkan Reinar ikut study-tour ke kebun binatang bersama siswa-siswi lain di kelasnya dengan bimbingan dari beberapa dewan guru. Maura paham, Reinar akan senang jika menyaksikan alam luar secara langsung, apalagi ke kebun binatang. Ini rutinitas kesukaan anak itu jika bosan diam di rumah, sekaligus satu-satunya cara terbaik agar dia melupakan dunia fantasi itu dan mulai berjalan di atas kenormalan realita walau hanya berdampak sementara bagi dirinya.
Menjelang keberangkatan, Maura tidak lupa untuk menitipkan pesan kepada Miss Hana, wali kelas Reinar. Maura juga menitipkan sejumlah obat penenang Reinar untuk berjaga-jaga jika terjadi apa-apa dengan kondisi mental anak itu. Teruntuk pertama kalinya, Maura dengan ringan hati melepas putranya bermain di dunia luar tanpa pengawasan langsung darinya. Bukan apa-apa, Reinar selalu merengek dan berkata bahwa dia bisa menjaga dirinya sendiri, dan dia bilang Maura tidak perlu khawatir.
Baiklah tak apa, pikir Maura. Lagipula, penderita skizoafektif seperti Reinar juga perlu kepercayaan dari orang sekitar bahwa dia bisa sembuh tanpa diperlakukan dengan penuh aturan. Dia butuh kebebasan. Kebebasan sangatlah penting bagi orang-orang sepertinya. Kebebasan bagi penderita skizoafektif ibarat batu loncatan menuju pemulihan. Tidak sedikit dari mereka yang berhasil menemukan jati diri melalui kebebasan tersebut. Tetapi, tidak sedikit pula yang justru berakhir tragis karenanya.
««»»
Sepanjang kegiatan tour, Mrs. Hana dengan konsisten mengawasi Reinar yang sudah dititipkan Maura padanya. Ini sudah kewajibannya sebagai penanggung jawab kegiatan. Walau susah payah mengejar-ngejar Reinar yang kerap keluar dari kawanan siswa-siswi, guru itu tetap berupaya menariknya kembali dan berjalan beriringan. Dan, kali ini, Reinar benar-benar tersesat di kebun binatang nan luas itu. Reinar tidak memedulikan bagaimana reaksi penanggung jawabnya ketika sadar bahwa dirinya menghilang.
Kini, anak itu masih berdiri di depan aquarium kaca berukuran besar yang di dalamnya terdapat ular-ular besar. Maura salah, tempat ini justru membuat Reinar kembali berfantasi. Tidak terasa, hari sudah malam, dan hingga saat ini tidak ada satupun petugas kebun binatang yang mencari anak itu.
“Sssssttt, kau bukan Basilisk, ‘kan? Kau teman Harry di kebun binatang itu, ‘kan?” Tidak tahu bagaimana kronologinya, kini Reinar sudah berada di dalam aquarium kaca besar itu, berpapasan langsung dengan ular besar yang tengah mendesis. Ia tidak takut sama sekali di kegelapan, ini sudah di luar batas fantasinya.Tiba-tiba, sepercik cahaya muncul di udara. Reinar memundurkan posisi, remang-remang melihat sosok dengan jubah Gryffindor menghadang ular besar yang nyaris menghabisi Reinar dengan tongkat di genggaman tangan sosok berjubah itu.
“Har— Harry? Harry Potter? Kamukah itu?” tanya Reinar meyakinkan.
“Ya, Reinar. Ini aku, Harry Potter. Apakah kau tersesat?” Sosok berjubah Gryffindor itu membawa semacam lampu petromax dan menghampirinya.
“Kau mengetahui namaku?” tanya Reinar ragu. Harry tersenyum dan merangkul pundak Reinar. Kini mereka berjalan beriringan di tengah hutan belantara nan sepi dengan lampu petromax sebagai penerang jalanan setapak.
“Kau akan membawaku ke mana?”
“Rumahku, Hogwarts,” jawab Harry sambil tersenyum.
“Ehm, apakah aku benar-benar akan menjadi murid Hogwarts juga sepertimu?” tanya anak itu dengan polos dan antusias.
“Jangan berharap lebih kepada imajinasimu, Reinar.” Seketika perjalanan terhenti.
“Kenapa?”
“Hogwarts bukan duniamu.” Harry menjedanya sekejap. “Kamu hanya akan menghancurkan kehidupanmu sendiri jika terus hidup dengan kenangan masa kecilmu dengan ayahmu.”
“Jadi apa maksudmu datang menghampiriku, Harry? Aku bahkan hanya seorang muggle yang tidak berguna di dunia ini. Aku—”
“Kau tidak seperti yang orang-orang bayangkan. Kau tidak gila. Mereka yang menganggapmu gila-lah yang gila,” tegas Harry.
“Tetapi aku ingin hidup di sini, di Hogwarts, Harry. Tidak ada rumah yang benar-benar rumah bagiku di luar sana. Teman-teman di kelasku tidak sudi berteman denganku. Mereka selalu menghindar jika aku berada di dekat mereka!”
“Itu karena kau tidak mau hidup di atas kenyataan, Reinar! Kau terlalu berlebihan merealisasikan kisah di duniaku selama di Hogwarts ke dalam duniamu! Dan seharusnya kau tahu, bahwa kau harus mengikhlaskan ayahmu yang sudah pergi, tanpa mengungkit-ungkit lagi kenangannya melalui dongeng tentang dunia ini!”
Tanpa sadar, Harry lepas kendali saat mengatakan kalimat itu. Dia sudah terlalu tidak tahan dengan Reinar.
“Maaf, aku terlalu keras menasihatimu.”
“Tidak, kau memang benar, Harry. Tapi, mereka berbohong soal kematian ayahku!”
“Tidak, mereka mengatakan yang sebenarnya kepadamu! Kaulah yang tidak percaya, Reinar! Ketidakterimaan dari dirimu itulah yang membuat mereka tidak mau menjadi temanmu! Tiap detik, yang ada dalam imajinasimu hanyalah kisah di dunia tempatku tinggal ini!” Nasihat tegas itu lagi-lagi membuat Reinar terdiam. Matanya sudah berkaca-kaca.
“Ish, lagi-lagi aku terlalu keras kepada anak kecil ini!” desis Harry frustasi.
“Oh, ayolah, Rei… Jika kau menyayangi ayahmu, jangan lagi berfantasi dengan kisahku selama di Hogwarts.” Kali ini, Harry mengatakannya dengan lebih tenang.
“Memangnya kenapa?”
“Karena jika kau terlalu mengenangnya, dia mati dengan penuh kecemasan! Khawatir dengan keadaanmu yang setiap hari mengungkit kenangan saat kau dengannya memerankan dongeng tentang kejadian di duniaku! Urusannya di alam sana tidak akan pernah selesai karenamu!”
“Lalu, aku harus apa, Harry?”
“Lupakan Hogwarts. Lupakan aku, Ron, Hermione, dan semua hal yang ada di duniaku. Jangan sekali-kali lagi membawa-bawa nama rakyat Hogwarts ke kehidupan sehari-harimu. Kau adalah kau, dan aku adalah aku. Jalanilah hidupmu sendiri. Jangan mau menjadi seperti orang lain, Rei! Tolong bencilah aku! Anggaplah kisahku tidak pernah kamu baca atau dengar!”
“T-tapi kenapa? Kenapa harus kisah tentang Hogwarts yang harus aku lupakan?” tanya Reinar dengan polosnya.
“Karena jika kau mengingat kisah tentangku dan Hogwarts, kau lagi-lagi akan terseret ke dalam kenangan mengenai ayahmu, Rei. Selamanya kau tidak akan bisa menemukan teman seperti Ron dan Hermione. Selamanya kau tidak akan menemukan rumah senyaman Hogwarts. Selamanya kau tidak akan membuat ayahmu meninggalkan dunia ini dengan tenang. Dan, selamanya kau tidak akan bisa menjalani kehidupan dengan normal, Rei.”
««»»
Kesunyian yang didominasi suara jangkrik tidak lama kemudian berubah menjadi desas-desis kecemasan yang memantul di seluruh dinding ruangan bernuansa putih itu. Reinar kini berada di rumah sakit.
“Rei, Reinar! Maafkan Mama, Nak.…” Maura mendadak memeluknya dalam tangis yang penuh sesak itu. Kekhawatiran akan putra semata wayangnya yang tidak mampu kembali hidup itu nampak jelas di raut wajahnya. Maura sangat cemas.
“Maaf karena Mama malah membiarkanmu pergi ke tempat itu, Nak….”
“Sekali lagi Mama minta maaf, Nak….”
Reinar mengambil posisi duduk. Ia menghela napas dalam, dan tersenyum tipis. “Mama jangan khawatirin Reinar, Ma…. Rei enggak sendiri waktu itu, Har—” Kalimatnya terpotong, seolah ada yang ia lupakan.
“Kenapa, Rei …?”
“Ah, enggak. Rei enggak sendiri waktu itu, karena ular besar di aquarium itu dengan baik hati memberi Rei area kosong untuk tidur semalaman. Ularnya jinak, jadi nurut deh sama Rei.” Kalimat polos itu yang dirindukan Maura selama seminggu. Seminggu yang terdiri atas dua hari pencarian di kebun binatang, dan lima hari anak itu koma di rumah sakit. Maura benar-benar rindu.
««»»
Kalimat Harry dalam imajinasi Reinar malam itu, membuat perubahan besar dalam hidup Reinar. Anak itu benar-benar tidak perlu lagi menjalani terapi-terapi dari para psikiater di luar sana, anak itu benar-benar tidak lagi memerangkap diri sendiri ke dalam ketidakbebasan, dan anak itu benar-benar menjalani hidup layaknya orang normal.
Ya, walau sebenarnya Harry Potter yang ia temui malam itu, dan kalimat yang diutarakannya adalah fantasi buatannya sendiri. Gejala di fase pertama saat itu ternyata membantunya membuat karakter di luar keinginannya.
Seharusnya berakibat sangat fatal, tetapi malam itu, ancaman kematian bahkan ditakdirkan bukan untuk Reinar, si penderita skizoafektif yang layak hidup secara normal.
Ⓒ︎2022 π»π ππππππππ½. ππ πΊπππΊππππ ππ πππ πΊπΌπΌπΎπππΎπ½!
BalasHapus